Minggu, 25 November 2012

T-Shirt, Antonie Aris van De Loosdrecht

@ +design+


Mengenang Pendeta Antonie Aris van de Loosdrecht misionaris pertama yang memberitakan Injil ke Toraja, 100 Tahun yang lalu dan Martir Iman Tana Toraja 
untuk pemesanan kaos ini... langsung saja ke sekretariat PPGT jemaat Buntu Pasele Rantepao... samping pelataran halaman Gereja Buntu Pasele Rantepao.

Minggu, 04 November 2012

PAMERAN KARYA PILIHAN KOLEKSI GALERI NASIONAL INDONESIA DAN PERUPA SULAWESI SELATAN

Kuratorial: SULAWESI-SELATAN, SENIMAN, dan KARYA-KARYANYA

Oleh: Dicky Tjandra


Pemikiran global dalam konteks ke Indonesiaan (Globalisasi Mikro) sudah sejak awal menjadi inspirasi pendiri bangsa ini (the founding father) sebelum kita memasuki era globalisasi yang sebenarnya (Globalisasi Makro) sekarang ini. Perbedaan yang dipikirkan mereka dahulu dengan yang terjadi sekarang hanya persoalan wilayah cakupan saja, Indonesia dan Dunia. Konsep ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang digagas mereka sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mencerminkan betapa mereka sadar betul tentang bagaimana mengatasi keberagaman bangsanya.
Konsep tersebut terasa pas apabila diletakkan dalam konteks era global sekarang ini. Mereka seakan telah berpikir jauh sebelumnya, padahal masalah tersebut merupakan habitat  Indonesia sesungguhnya. Dalam konteks itulah pembacaan terhadap karya seniman-seniman Sulawesi-Selatan secara umum penting dipandang. Seniman Sulawesi-Selatan tidak saja dituntut memahami situasi Globalisasi Makro, tetapi tidak kalah pentingnya perhatian pada Globalisasi Mikro yang ada, karena dalam kondisi itulah sejatinya mereka berada.
Era globalisasi tidak mungkin dapat dihindari tetapi harus dimanfaatkan secara positif sehingga kebudayaan global yang dimaksud bukan berarti lebur menjadi satu budaya dunia melainkan menjadi satu dunia dalam keberagaman budaya.  Pembacaan pemikiran seniman Sulawesi-Selatan dalam karya-karya yang mereka hasilkan dipandang penting karena setidaknya dapat terlihat apa yang menjadi inspirasi mereka dalam melahirkan karya-karyanya. Seberapa besar mereka memanfaatkan asset kekayaan budaya bangsanya sebagai bahan dasar yang inspiratif untuk bersaing di tengah derasnya arus Globalisasi.
Sesuai dengan karakter seniman yang individual, maka menjadi penting rasanya untuk mengetahui lebih jauh pandangan-pandangan yang dimiliki dan dituangkan dalam karyanya memiliki relevansi dengan sikap hidup mereka. Apakah inspirasi mereka berasal dari budaya teks atau konteks yang mereka miliki, atau terpengaruh oleh wacana pasar yang menggiurkan itu. Demikianlah hal-hal yang sangat kuat sebagai latar belakang mereka memandang kehidupan dalam melahirkan pandangan-pandangannya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan nampaknya pelaku pasar belum banyak melirik daerah diluar Jawa. Secara diam-diam kelihatan sebahagian seniman Sulawesi-Selatan sangat merindukan lirikan tersebut, melihat seniman-seniman yang sukses di pasar seni rupa. Akibatnya, kebutuhan finansial yang mendesak, solusi mereka alihkan untuk menerima karya-karya pesanan (souvenier). Sikap tersebut setidaknya dipandang dapat menjaga asap dapur mereka, sambil sesekali mengerjakan karya idealis mereka.
Nampaknya tinggal menghitung waktu saja, mereka bakal dilirik pelaku pasar, karena harga mereka relatif masih murah. Pikiran yang umum bagi pedagang adalah apabila dapat membeli barang semurah-murahnya, dan mampu menjualnya semahal-mahalnya. Dasar pikiran seperti itulah perluasan wilayah ladang garapan diperluas guna mencapai keinginan yang dimaksud. Merubah isi kepala pedagang menjadi budayawan tentu bukan hal gampang untuk menjadikan mereka sadar terhadap kepentingan budayanya.
Disinilah titik pentingnya pameran keliling Galeri Nasional di kota Makassar kali ini yang dipandang dapat memediasi segala hal yang telah terjadi, dan yang mungkin. Satu hal yang terpenting adalah meyakinkan seniman-seniman Sulawesi-Selatan terhadap nilai-nilai yang ada dan nilai-nilai yang mereka miliki. Sangat tidak bijak apabila kita selalu memaksakan kehendak untuk merubah karakter tersebut, karena sesungguhnya disitulah sejatinya mereka berada yang justru membuat berbeda dengan orang lain. Bukankah perbedaan itu yang membuat arti Bhineka Tunggal Ika semakin bermakna dalam pemahaman kita bersama.
Karakter orang Makassar sering dikatakan ‘kasar’ dimata sebahagian orang disebabkan ekspresi omongannya yang terdengar keras dipendengaran sebahagian orang. Hal tersebut sebetulnya dapat dimaklumi apabila kita menyadari letak geografis daerahnya yang berada dipinggiran pantai. Suara mereka seakan tidak ingin kalah dengan deru gelombang laut yang senantiasa menghempas bibir-bibir pantainya. Seperti itulah karakternya terbentuk sejak dahulu kala, sejak nenek moyang mereka yang memiliki budaya pelaut. Berbicara pelan di tengah deru gelombang rasanya tidak mampu untuk menjalin komunikasi diantara mereka.
Karakter tersebut dapat terbaca pula apabila kita menikmati tarian ‘Pakkarena’ yang sangat  dikenal di Makassar, bahkan terkenal sampai ke manca negara. Gerakan tarian yang lemah gemulai diiringi oleh penabuh gedang yang sangat ekspresif (pagandrang), sebagai suatu kesatuan yang harmonis. Pertunjukan tersebut dapat saja dipandang sebagai suatu yang disharmonis dimata dan telinga sebahagian orang karena kontradiksi antara suara gendang dan gerakan tarinya, yang justru disitulah ruang makna yang dapat ditafsir apabila direnungkan.
Secara garis besar latar belakang budayanya sangat mempengaruhi proses kreatif seniman-seniman Sulawesi-Selatan karena aroma budaya masih terasa kental apabila kita berada disana. Kita terhenyak dan tersadarkan ketika menyadari tiang-tiang penyanggah rumah kita begitu rapuh karena lalai dalam merawatnya.
Secara umum, latar belakang itulah yang sangat mempengaruhi sikap dan prilaku seniman Sulawesi-Selatan, dan dari situ pulalah mereka melakukan sesuatu bagi kehidupan ekspresinya. Semoga pembacaan karya-karya mereka kali ini memberi ruang tafsir yang lebih konstruktif dan komunikatif oleh kita. Kehadiran karya-karya mereka kali ini lebih mengajak kita semua untuk berdiskusi, dan masing-masing semakin yakin terhadap pemikiran yang ditawarkan. Selamat membangun diskusi dengan karya-karya yang ada, mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat dibawa pulang sampai ke bilik perenungan kita dirumah. Tabe!


Dicky Tjandra
Seniman dan Dosen
Universitas Negeri Makassar


  sumber: Event Seni Rupa Makassar



Jumat, 26 Oktober 2012

Mengubah Sarung Toraja Jadi Busana Urban Indonesia

Fashion Week (IFW) 2013 akan digelar pada 14-17 Februari 2013 mendatang di Jakarta Convention Center (JCC). Menyambut pekan mode Indonesia tersebut, digelar acara Road to Indonesia Fashion Week 2013.

Seorang perajin membuat kain tenun Toraja dalam acara “Pameran Tenun Untannun Kameloan” di Museum Tekstil, Jakarta. Pameran berlangsung dari 19 September-14 Oktober 2012. (sumber: ANTARA)
untuk info lebih lanjut silahakan klik di sini:
http://torajacybernews.com/budaya-pariwisata/mengubah-sarung-toraja-jadi-busana-urban.html

Rabu, 17 Oktober 2012

Seni Rupa Toraja "Inanna pia Toraya sirumpun,sharing sia membahas karya lan bidang Seni Rupa"

http://www.facebook.com/groups/263645863683692/

Ternyata anak2 Toraja mempunyai segudang kemampuan di bidang seni rupa, coba saja liat hasil-hasil karyanya :
 



untuk lebih lanjut klik di sini:
Fb: Seni rupa Toraja





Copas dulu: 
Published On: Mon, Oct 8th, 2012
 | By Pong Oles

PRAYA IX PPGT: 85 Klasis Gereja Berkumpul di TORAJA


MAKALE, TCN.com — Pertemuan Raya (Praya) ke-IX Persekutuan Pemuda Gereja Toraja (PPGT) se- Indonesia akan digelar di Getengan Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, mulai 22-28 Oktober mendatang.
Sesuai rencana, 85 klasis di lingkungan gereja di Toraja akan hadir. “Sekitar 1.001 anggota PPGT, termasuk dari Malaysia dan Singapura akan menghadiri Praya IX ini,”ujar Ketua Bidang Kesekretariatan Publikasi dan Dokumentasi Praya IX PPGT Nob Lambe kepada SINDOkemarin. Diamengatakan,prayamerupakan agenda rutin lima tahunan PPGT dengan agenda utama gerakan cinta tanah air dan agenda pendukung berupa perlombaan prestasi. Praya IX mengusung tema “Water For Life”sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini yang perlahanlahan mengalami dehidrasi.
Menurut Nob Lambe, sebagai bentuk tugas,panggilan dalam pekerjaan pelayanan dan menyatakan kesaksian di tengah- tengah gereja dan masyarakat, PPGT akan melestarikan alam semesta dan menjaga ketersediaan air. PPGT siap berpartisipasi melaksanakan penanaman 50.000 pohon di wilayah Toraja yang masuk agenda kegiatan. “Panitia sudah menyiapkan 50.000 bibit pohon berbagai jenis untuk dibagi-bagikan ke anggota PPGT dan ditanam bersama-sama saat Praya IX berlangsung,”tuturnya.
Dia menambahkan, Praya IX PPGT tahun ini akan dirangkaikan dengan hari ulang tahun (HUT) emas PPGT ke-50. Untuk itu, berbagai kegiatan hiburan lain juga akan digelar, seperti perlombaan olahraga dan pentas seni. “Praya ini untuk lebih mempererat tali kasih, kekeluargaan dan persaudaraan antara sesama anggota PPGT untuk menyatakan tugas dan panggilannya dalam pelayanan Kristus,” kata Nob Landa. Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Tana Toraja Enos Karoma menyatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja siap mendukung dan menyukseskan kegiatan tersebut.
Dia berharap, melalui Praya IX ini, PPGT sebagai organisasi internal dalam gereja Toraja bisa lebih memberikan pencerahan bagi pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. “Pemerintah memberikan apresiasi atas kepedulian PPGT dalam menjaga alam semesta yang diyakini akan lebih melestasrikan alam dan lingkungan di Toraja,”katanya. (Joni lembang )

Sumber :
- Sindo
- http://torajacybernews.com/umum/praya-ix-ppgt-85-klasis-gereja-berkumpul-di-toraja.html

* MENGUNGKAP MASA LAMPAU TORAJA MELALUI SENI UKIR ORNAMEN PASSURAK SEBAGAI SUMBER SEJARAH Oleh Anwar Thosibo 2

Etnis Toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tidak mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal, oleh karena itu secara metodologis ada tantangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi masa lalu Toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis berbentuk manuskrif. Bagi mereka yang “ekslusivisme” dengan mudah dapat menggunakan prinsip “tidak ada dokumen tertulis tidak ada sejarah”, akibat prinsip itu lenyaplah masa lalu Toraja yang unik bersamaan dengan menjauhnya para sejarawan.

Meskipun tidak meninggalkan dokumen tertulis, tidak berarti bahwa etnis Toraja tidak menyimpan aktualitas masa lalunya. Selain penuturan lisan, gambar-gambar passuraq yang terdapat pada bangunan adat Tongkonan dan benda budaya lainnya, merupakan teks gambar yang terseleksi atau tepatnya aktualitas yang terdokumentasi dengan baik berdasarkan hasil konvensi masyarakatnya. Kesemuanya dimaksudkan sebagai sumber sejarah yang memberi informasi, pesan, dan ungkapan masa lalu. Etnis Toraja selalu menyebut bangunan adatnya sebagai banua passuraq, yang bisa disamakan artinya dengan gedung arsip, penuh dengan teks gambar yang berderet panjang dan penuh arti.

Passuraq, berasal dari akar kata suraq sinonim dengan kata surat, yang artinya, berita, tulisan atau gambaran. Dalam pengertian tersebut, passuraq memiliki kapasitas pictographic karena tema dan gagasan referensialnya direpresentasikan dalam bentuk gambaran ideografik, dan dengan demikian juga identik dengan historiografi sebagai pelukisan sejarah. Gambaran dalam passuraq dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Toraja masa lalu. Tema dan gagasan referensialnya pun tidak selalu dalam bentuk nyata, namun juga yang abstrak dalam bentuk geometris.

Menarik dan penting untuk ditelaah bahwa artikulasi passuraq ternyata identik dengan tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin atau hiragana Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya seni ukir kayu yang di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan tataran plastis 16. Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi gambar passuraq berguna untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan, passuraq merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat Toraja, karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi passuraq - sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki kebebasan untuk merefleksikan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia imajinasinya.

Kebiasaan tradisional etnis Toraja untuk tetap menggambar (passuraq) sama seperti bentuk aslinya (einmalig), telah berlangsung cukup lama. Patut diduga, bahwa tradisi itu muncul bersamaan waktunya dengan berkembangnya kepercayaan leluhur mereka yaitu Aluk Todolo. Dikatakan demikian karena ajaran agama leluhur menetapkan, bahwa setiap langkah upacara kematian selalu diikuti dengan peletakan motif passuraq tertentu pada bidang dinding yang tertentu. Dengan berakhirnya semua langkah upacara kematian maka seluruh bidang luar bangunan adat Tongkonan telah tertutup sejumlah passuraq, membentuk suatu komposisi yang teratur. Itu sebabnya mengapa Tongkonan sering dinamakan rumah kehidupan dan rumah kematian yang maksudnya tempat mayat disemayamkan untuk sementara waktu dan tempat berkumpul keluarga untuk bersama-sama melaksanakan upacara kematian.

Terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan 17 yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif hanya dikhususkan untuk Tongkonan. Berdasarkan hasil penelitian terakhir, dari jumlah itu ada yang tidak dapat diketemukan lagi 18. Meskipun demikian, etnis Toraja tetap mengklasifikasi gambar passuraq ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.

Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja.
Kedua dinamakan Passuraq Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga sampai kakek nenek.
Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi.
Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean, dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada masa kanak-kanak.