Minggu, 04 November 2012

PAMERAN KARYA PILIHAN KOLEKSI GALERI NASIONAL INDONESIA DAN PERUPA SULAWESI SELATAN

Kuratorial: SULAWESI-SELATAN, SENIMAN, dan KARYA-KARYANYA

Oleh: Dicky Tjandra


Pemikiran global dalam konteks ke Indonesiaan (Globalisasi Mikro) sudah sejak awal menjadi inspirasi pendiri bangsa ini (the founding father) sebelum kita memasuki era globalisasi yang sebenarnya (Globalisasi Makro) sekarang ini. Perbedaan yang dipikirkan mereka dahulu dengan yang terjadi sekarang hanya persoalan wilayah cakupan saja, Indonesia dan Dunia. Konsep ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang digagas mereka sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mencerminkan betapa mereka sadar betul tentang bagaimana mengatasi keberagaman bangsanya.
Konsep tersebut terasa pas apabila diletakkan dalam konteks era global sekarang ini. Mereka seakan telah berpikir jauh sebelumnya, padahal masalah tersebut merupakan habitat  Indonesia sesungguhnya. Dalam konteks itulah pembacaan terhadap karya seniman-seniman Sulawesi-Selatan secara umum penting dipandang. Seniman Sulawesi-Selatan tidak saja dituntut memahami situasi Globalisasi Makro, tetapi tidak kalah pentingnya perhatian pada Globalisasi Mikro yang ada, karena dalam kondisi itulah sejatinya mereka berada.
Era globalisasi tidak mungkin dapat dihindari tetapi harus dimanfaatkan secara positif sehingga kebudayaan global yang dimaksud bukan berarti lebur menjadi satu budaya dunia melainkan menjadi satu dunia dalam keberagaman budaya.  Pembacaan pemikiran seniman Sulawesi-Selatan dalam karya-karya yang mereka hasilkan dipandang penting karena setidaknya dapat terlihat apa yang menjadi inspirasi mereka dalam melahirkan karya-karyanya. Seberapa besar mereka memanfaatkan asset kekayaan budaya bangsanya sebagai bahan dasar yang inspiratif untuk bersaing di tengah derasnya arus Globalisasi.
Sesuai dengan karakter seniman yang individual, maka menjadi penting rasanya untuk mengetahui lebih jauh pandangan-pandangan yang dimiliki dan dituangkan dalam karyanya memiliki relevansi dengan sikap hidup mereka. Apakah inspirasi mereka berasal dari budaya teks atau konteks yang mereka miliki, atau terpengaruh oleh wacana pasar yang menggiurkan itu. Demikianlah hal-hal yang sangat kuat sebagai latar belakang mereka memandang kehidupan dalam melahirkan pandangan-pandangannya.
Dari hasil pengamatan yang dilakukan nampaknya pelaku pasar belum banyak melirik daerah diluar Jawa. Secara diam-diam kelihatan sebahagian seniman Sulawesi-Selatan sangat merindukan lirikan tersebut, melihat seniman-seniman yang sukses di pasar seni rupa. Akibatnya, kebutuhan finansial yang mendesak, solusi mereka alihkan untuk menerima karya-karya pesanan (souvenier). Sikap tersebut setidaknya dipandang dapat menjaga asap dapur mereka, sambil sesekali mengerjakan karya idealis mereka.
Nampaknya tinggal menghitung waktu saja, mereka bakal dilirik pelaku pasar, karena harga mereka relatif masih murah. Pikiran yang umum bagi pedagang adalah apabila dapat membeli barang semurah-murahnya, dan mampu menjualnya semahal-mahalnya. Dasar pikiran seperti itulah perluasan wilayah ladang garapan diperluas guna mencapai keinginan yang dimaksud. Merubah isi kepala pedagang menjadi budayawan tentu bukan hal gampang untuk menjadikan mereka sadar terhadap kepentingan budayanya.
Disinilah titik pentingnya pameran keliling Galeri Nasional di kota Makassar kali ini yang dipandang dapat memediasi segala hal yang telah terjadi, dan yang mungkin. Satu hal yang terpenting adalah meyakinkan seniman-seniman Sulawesi-Selatan terhadap nilai-nilai yang ada dan nilai-nilai yang mereka miliki. Sangat tidak bijak apabila kita selalu memaksakan kehendak untuk merubah karakter tersebut, karena sesungguhnya disitulah sejatinya mereka berada yang justru membuat berbeda dengan orang lain. Bukankah perbedaan itu yang membuat arti Bhineka Tunggal Ika semakin bermakna dalam pemahaman kita bersama.
Karakter orang Makassar sering dikatakan ‘kasar’ dimata sebahagian orang disebabkan ekspresi omongannya yang terdengar keras dipendengaran sebahagian orang. Hal tersebut sebetulnya dapat dimaklumi apabila kita menyadari letak geografis daerahnya yang berada dipinggiran pantai. Suara mereka seakan tidak ingin kalah dengan deru gelombang laut yang senantiasa menghempas bibir-bibir pantainya. Seperti itulah karakternya terbentuk sejak dahulu kala, sejak nenek moyang mereka yang memiliki budaya pelaut. Berbicara pelan di tengah deru gelombang rasanya tidak mampu untuk menjalin komunikasi diantara mereka.
Karakter tersebut dapat terbaca pula apabila kita menikmati tarian ‘Pakkarena’ yang sangat  dikenal di Makassar, bahkan terkenal sampai ke manca negara. Gerakan tarian yang lemah gemulai diiringi oleh penabuh gedang yang sangat ekspresif (pagandrang), sebagai suatu kesatuan yang harmonis. Pertunjukan tersebut dapat saja dipandang sebagai suatu yang disharmonis dimata dan telinga sebahagian orang karena kontradiksi antara suara gendang dan gerakan tarinya, yang justru disitulah ruang makna yang dapat ditafsir apabila direnungkan.
Secara garis besar latar belakang budayanya sangat mempengaruhi proses kreatif seniman-seniman Sulawesi-Selatan karena aroma budaya masih terasa kental apabila kita berada disana. Kita terhenyak dan tersadarkan ketika menyadari tiang-tiang penyanggah rumah kita begitu rapuh karena lalai dalam merawatnya.
Secara umum, latar belakang itulah yang sangat mempengaruhi sikap dan prilaku seniman Sulawesi-Selatan, dan dari situ pulalah mereka melakukan sesuatu bagi kehidupan ekspresinya. Semoga pembacaan karya-karya mereka kali ini memberi ruang tafsir yang lebih konstruktif dan komunikatif oleh kita. Kehadiran karya-karya mereka kali ini lebih mengajak kita semua untuk berdiskusi, dan masing-masing semakin yakin terhadap pemikiran yang ditawarkan. Selamat membangun diskusi dengan karya-karya yang ada, mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat dibawa pulang sampai ke bilik perenungan kita dirumah. Tabe!


Dicky Tjandra
Seniman dan Dosen
Universitas Negeri Makassar


  sumber: Event Seni Rupa Makassar



2 komentar: