Etnis Toraja termasuk salah satu suku bangsa Indonesia yang tidak
mengembangkan aksara tulisan dalam bentuk teks verbal, oleh karena itu
secara metodologis ada tantangan bagi sejarawan untuk merekonstruksi
masa lalu Toraja bila hanya mengandalkan sumber dokumen tertulis
berbentuk manuskrif. Bagi mereka yang “ekslusivisme” dengan mudah dapat
menggunakan prinsip “tidak ada dokumen tertulis tidak ada sejarah”,
akibat prinsip itu lenyaplah masa lalu Toraja yang unik bersamaan dengan
menjauhnya para sejarawan.
Meskipun tidak meninggalkan dokumen
tertulis, tidak berarti bahwa etnis Toraja tidak menyimpan aktualitas
masa lalunya. Selain penuturan lisan, gambar-gambar passuraq yang
terdapat pada bangunan adat Tongkonan dan benda budaya lainnya,
merupakan teks gambar yang terseleksi atau tepatnya aktualitas yang
terdokumentasi dengan baik berdasarkan hasil konvensi masyarakatnya.
Kesemuanya dimaksudkan sebagai sumber sejarah yang memberi informasi,
pesan, dan ungkapan masa lalu. Etnis Toraja selalu menyebut bangunan
adatnya sebagai
banua passuraq, yang bisa disamakan artinya dengan gedung arsip, penuh dengan teks gambar yang berderet panjang dan penuh arti.
Passuraq,
berasal dari akar kata suraq sinonim dengan kata surat, yang artinya,
berita, tulisan atau gambaran. Dalam pengertian tersebut, passuraq
memiliki kapasitas pictographic karena tema dan gagasan referensialnya
direpresentasikan dalam bentuk gambaran ideografik, dan dengan demikian
juga identik dengan historiografi sebagai pelukisan sejarah. Gambaran
dalam passuraq dipilih sedemikian rupa dan tampak merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat Toraja masa lalu. Tema dan gagasan referensialnya
pun tidak selalu dalam bentuk nyata, namun juga yang abstrak dalam
bentuk geometris.
Menarik dan penting untuk ditelaah bahwa artikulasi
passuraq ternyata
identik dengan tulisan, namun bukan dalam modus seperti alphabet Latin
atau hiragana Jepang tetapi dalam representasi yang lain yaitu karya
seni ukir kayu yang di dalam obyek gambarnya memiliki tataran ikonis dan
tataran plastis
16.
Pada tataran ikonis, gambar passuraq diandaikan mewakili obyek tertentu
yang dapat diketahui melalui persepsi dunia-hidup sehari-hari yang
masih berlangsung, sementara pada tataran plastis, kualitas ekspresi
gambar
passuraq berguna untuk menyampaikan konsep-konsep yang abstrak. Seperti halnya bahasa tulisan,
passuraq
merupakan “sistem pembuka dan penyimpan makna” realitas masyarakat
Toraja, karena itu maka passuraq tidak sekedar komunikatif tetapi juga
sebagai tempat kreatifitas seni. Dalam kapasitas seni inilah pribadi
passuraq - sebagai seorang perupa dan seorang sejarawan - memiliki
kebebasan untuk merefleksikan apa yang dilihat dan dialami dalam dunia
imajinasinya.
Kebiasaan tradisional etnis Toraja untuk tetap menggambar
(passuraq)
sama seperti bentuk aslinya (einmalig), telah berlangsung cukup lama.
Patut diduga, bahwa tradisi itu muncul bersamaan waktunya dengan
berkembangnya kepercayaan leluhur mereka yaitu
Aluk Todolo.
Dikatakan demikian karena ajaran agama leluhur menetapkan, bahwa setiap
langkah upacara kematian selalu diikuti dengan peletakan motif passuraq
tertentu pada bidang dinding yang tertentu. Dengan berakhirnya semua
langkah upacara kematian maka seluruh bidang luar bangunan adat
Tongkonan telah tertutup sejumlah passuraq, membentuk suatu komposisi
yang teratur. Itu sebabnya mengapa Tongkonan sering dinamakan rumah
kehidupan dan rumah kematian yang maksudnya tempat mayat disemayamkan
untuk sementara waktu dan tempat berkumpul keluarga untuk bersama-sama
melaksanakan upacara kematian.
Terdapat kurang lebih 125 motif gambar passuraq yang pernah diciptakan
17
yang masing-masing menggambarkan realitas kehidupan dan ada 75 motif
hanya dikhususkan untuk Tongkonan. Berdasarkan hasil penelitian
terakhir, dari jumlah itu ada yang tidak dapat diketemukan lagi
18. Meskipun demikian, etnis Toraja tetap mengklasifikasi gambar passuraq ke dalam 4 kategori berdasarkan ketentuan adat.
Pertama dinamakan Garontok Passuraq, yaitu gambar utama dan dianggap sebagai pangkal atau dasar untuk memahami budaya Toraja. Kedua dinamakan Passuraq Todolo, dianggap sebagai penggambaran realitas hidup orang dewasa sejak berkeluarga sampai kakek nenek. Ketiga dinamakan Passuraq Malollek, yaitu penggambaran realitas hidup kelompok remaja muda mudi. Keempat dinamakan Passuraq Pakbarean,
dianggap sebagai penggambaran berbagai aneka macam kehidupan yang
berhubungan dengan suasana yang penuh kegembiraan dan kesenangan pada
masa kanak-kanak.